RSS
Write some words about you and your blog here

suthe

Pages

AIK VII (Persamaan Gender)

BAB I
PENDAHULUAN
Terbukanya keran demokrasi dan kebebasan berbicara telah membuka suara-suara dan ide-ide yang selama ini cendrung bungkam karena ditekan oleh tindakan represif penguasa. Sekarang, setiap orang bebas mengekspresikan kehendaknya tanpa takut lagi akan dihukum, diberendel, dan diberangus oleh pihak-pihak tertentu yang merupakan perpanjangan tangan penguasa.
Salah satu bidang yang mendapat porsi yang cukup besar dan mendapatkan ruang gerak yang leluasa adalah menyangkut masalah perempuan. Isu-isu dan gerakan tentang emansipasi, kesetaraan gender, dan perjuangan hak-hak perempuan telah menjadi perbincangan dan wacana yang menarik.
Atmosfir perbincangan tentang perempuan ini semakin hangat ketika kasus-kasus pelecehan, kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan semakin menjadi-jadi. Hamper setiap hari media baik elektronik maupun cetak menayangkan berita pemerkosaan, kekerasan suami terhadap istri dan anak perempuan, tingkat aborsi yang sangat tinggi ( mencapai 4 juta kasus setiap tahunnya di Negara ini ). Perlakuan yang diskriminatif dan semena-mena terhadap perempuan ini tidak hanya berada pada dataran kasus per kasus, namun telah menginjak dataran kebijakan pemerintah.
Prinsip persamaan telah menjadi bagian dari sistem hokum kita yang tertuang dalam pasal 27 UUD 1945. Di samping itu, pemerintah telah meratifikasi berbagai konvensi internasional seperti konvensi ILO No. 100 tentang upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya, konvensi tentang hak-hak politik perempuan dan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pemerintah pun juga telah mengeluarkan berbagai kebijakan lain, seperti: dalam peraturan tentang perkawinan dan perceraian yang bertujuan untuk meningkatkan status perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Akan tetapi, sebenarnya jika dikaji lebih lanjut, peraturan itu justru bias gender. Sebab dalam putusannya, di satu sisi menjamin hak yang sama dalam hokum dan masyarakat antara perempuan dan laki-laki, di sisi lain dinyatakan bahwa laki-laki berperan di sektok publik dan perempuan berperan di sector privat (di rumah saja). Malah UU ini memberi peluang bagi seorang suami untuk beristri lebih dari satu.
Perbincangan dan perjuangan hak-hak perempuan timbul karena adanya suatu kesadaran, pergaulan, dan arus informasi yang membuat perempuan Indonesia semakin kritis dengan apa yang menimpa kaumnya. Pejuang hak-hak perempuan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan feminisme yanga ada di luar, baik itu di barat dan beberapa mendapat inspirasi dari feminis Islam.
Tidak ada yang salah dengan pendekatan pisau analisis yang ditawarkan oleh feminis Barat dengan berbagai alirannya (Liberal, Radikal, Marxis dan Sosialis, Psikoanalisi dan Gender, Eksistensialis, Posmodern, Multikultural dan Global, Ekofeminisme) maupun apa yang ditawarkan oleh feminis Islam seperti, Asghar Ali Engineer, Fatimah Mernissi, Riffat Hassan, dan Aminan Wadud. Namun, latar belakang sejarah, budaya, dan sosial yang dihadapi perempuan Indonesia berbeda dengan apa yang terjadi di barat maupun di Negara-negara (Arab) Islam. Padahal faktor-faktor tersebut mempengaruhi kita dalam menganalisis atau membuat suatu kesimpulan dan kebijakan. Oleh karena itu, peneliti menilai dan merasa perlu adanya suatu konsep yang benar-benar berasal dari Indonesia dan sesuai dengan kultur serta kepribadian bangsa Indonesia.
Pada penelitian ini, penulis ingin menelaah tentang feminisme ini dengan mengambil pemikiran Prof. Dr. Hamka. Hal ini dikarenakan, sosok beliau telah banyak menciptakan karya-karya fenomenal yang sangat kental nuansa filosofisnya. Ada 4 buku yang telah beliau tulis yang diberi judul “Mutiara Filsafat” yaitu Tasauf Modern, Falsafah Hidup, Lembaga Budi dan Lembaga Hidup. Melalui pisau analisis filsafat manusia yang ditulis Hamka dalam karya-karyanya, peneliti mencoba untuk mengambil dan mengungkakan pandangan Hamka terhadap kedudukan perempuan










BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kesetaraan Gender
1. Kesetaraan Gender
Kesetaraan yang dimaksud adalah kondisi dan posisi yang menggambarkan kemitraan yang selaras, serasi dan seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh peluang/kesempatan dalam mengakses, partisipasi, kontrol dan manfaat dalam pelaksanaan pembangunan serta menikmati hasil pembangunan dalam kehidupan keluarga, maupun dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kesetaraan gender adalah sebuah keniscayaan demokrasi, dimana kedudukan laki-laki dan kaum perempuan memiliki hak yang sama didepan hukum, karena laki-laki dan kaum perempuan memiliki kodrat yang sama sebagai makhluk sosial. Laki-laki dan kaum perempuan memiliki akses yang sama dalam politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Oleh karena itu, demokrasi tanpa kesetaraan gender akan berdampak pada ketidakadilan sosial. Di kalangan masyarakat masih terjadi domestifikasi kaum perempuan yang cukup kuat. Dimana, kaum perempuan hanya memiliki peran kerumah tangganya. Di dalam politik, konstruksi sosial masih menempatkan perempuan sebagai pihak nomor dua.
Dalam proses pencalonan legislatif, misalnya perempuan kurang banyak diperhitungkan dalam proses pencalonan itu. Di bidang ekonomi, kaum perempuan juga memiliki akses yang relatif terbatas jika dibandingkan dengan laki-laki. Banyak perusahaan lebih memiliki untuk menerima karyawan laki-laki dari pada kaum perempuan. Bahkan, dibeberapa perusahaan terjadi diskriminasi upah antara buruh laki-laki dan buruh perempuan.
Kontruksi sosial yang diskriminasi terhadap perempuan seringkali dilakukan atas nama tradisi dan agama. Dalam tradisi, kontruksi sosial sering memandang bahwa kaum perempuan tida boleh melebihi laki-laki. Disamping itu, banyak juga penolakan terhadap pencalonan kaum perempuan dilakukan atas nama agama. Padahal agama memandang kedudukan laki-laki dan kaum perempuan setara dihadapan Tuhan (Allah SWT). Dalam demokrasi, kesetaraan gender harus diwujudkan. Proses kearah itu memang memerlukan waktu yang panjang. Dalam proses politik di Indonesia, perkembangan ke arah kesetaraan gender dan politik di era pasca reformasi 1998 (awal perkembangan menuju demokrasi) sudah cukup progresif. Terbukti dengan diakomodikasikan gagasan 30% kuota perempuan bagi calon anggota legislatif. Namun, hal ini hanyalah sebagian kecil solusi dalam persoalan kesetaraan gender. Masih ada banyak hal lagi yang perlu dilakukan dalam mewujudkan kesetaraan gender baik dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, budaya dan lain-lain.
Ketidakadilan gender juga terjelma dalam bentuk pemberian beban kerja yang berat kepada kaum perempuan. Ketimpangan gender dalam kehidupan keluarga lebih banyak dirasakan kaum perempuan dari pada kaum laki-laki. Sebagaimana tercermin dalam berbagai kondisi, misalnya:
a. Kaum perempuan tidak bisa mengembangkan potensi daripada keinginannya karena terbelilit oleh kewajiban tugas-tugasnya dirumah sebagai ibu rumah tangga.
b. Istri sangat tergantung pada nafkahyang diberikan suami.
c. Anak perempuan mendapat perlakuan yang diskriminatif (dibedakan dari anak laki-laki secara merugikan) khusunya dalam pendidikan.
d. Istri menjadi korban tindak kekerasan dari suami.
Suburdinasi adalah memempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari pada kaum laki-laki. Di samping itu, masih lekat di masyarakat anggapan bahwa perempuan itu tidak pantas diangkat menjadi seorang pemimpin. Sikap demikian menempatkan kaum perempuan pada posisi yang tidak penting atau hanya bahagian dari laki-laki.
Dalam kehidupan sehari-hari sering kali mendengar dan melihat berbagai ancaman yang dihadapi kaum perempuan. Misalnya. Kekerasan dan pemerkosaan. Hal ini membuat pemerintah Indonesia mengeluarkan UU politik yang mengangkat pemberdayaan perempuan. Dengan demikian,kaum perempuan sudah bisa menentukan haknya sebagai warga negara. Sebagai kaum laki-laki jangan pernah menindas dan menganiaya kaum perempuan lagi. Tapi jadikanlah kaum perempuan sebagi pendamping hidup untuk membangun bangsa dan negara Indonesia.

2. Dilakukan upaya pemberdayaan perempuan, bukan suatu kecengengan, tetapi memang merupakan upaya yang mutlak dan wajib dilaksanakan oleh karena:
a. UUD menyebutkan bahwa setiap Warga Negara mempunyai hak yang sama baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi maupun hukum.
b. UU HAM juga menyatakanan bahwa laki-laki dan perempuan punya HAM yang tidak berbeda.
c. Tetapi faktanya kondisi dan posisi perempuan diberbagai bidang masih belum memadai.
d. Laki-laki dan perempuan harus berperan serta dalam pembangunan.

3. Masalah Tenaga Kerja
Bekerja merupakan hak manusia laki-laki dan perempuan untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya. Bekerja dapat dilakukan pada sektor formal maupun informal. Tempat bekerja bisa di dalam negeri maupun di luar negeri. Pekerja di Luar negeri pun ada 2 kelompok yaitu yang legal dan illegal.
Persoalan yang dihadapi perempuan bekerja cukup banyak antara lain; perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan dengan beban kerja yang sama, hak-hak perempuan berkaitan dengan kodratnya belum terpenuhi, pelecehan seksual dan lain-lain. Untuk pekerja di luar negeri, tidak diberikan gaji, kekerasan juga pelecehan seksual.
Berkaitan dengan persoalan diatas upaya yang dilakukan meliputi :
a. Pencegahan terjadinya permasalahan ketenagakerjaan
b. Perlindungan terhadap tenaga kerja perempuan
Dengan cara :
- Peningkatan kualitas hidup perempuan di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi.
- Membantu perempuan akses pada modal (MOU-MOU dengan bank)
- Advokasi hak-hak buruh kepada perusahaan melalui asosiasi-asosiasi
- KIE di daerah kantong Pengiriman Tenaga Kerja
- Bekerja sama dengan departemen Tenaga Kerja dalam Penyusunan UU Perlindungan Tenaga Kerja.
4. Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Visi dari Pemberdayaan Perempuan adalah mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Faktanya kekerasan dalam rumah tangga masih sangat mernggejala. Seringkali persoalan ini dianggap urusan domestic, tetapi saat ini telah dibahas di DPR dan hampir final UU penghapusan KDRT yang mengatur tentang pengertian KDRT, ruang lingkup hak, perlindungan serta sangsi pelanggaran KDRT.
5. Pornografi dan Pornoaksi

a. Pornografi bermasalah karena pada dasarnya, Pornografi adalah merupakan sebuah bentuk kejahatan terhadap nilai-nilai sosial. Pornografi secara sengaja merendahkan dan melecehkan kaum perempuan menjadi sekedar objek seks yang tidak bermartabat dan pantas dieksploitasi. Pornografi juga sangat mungkin mendorong desakralisasi seks yang pada gilirannya menyebabkan setumpuk penyakit sosial, seperti AIDS dan penyakit menular seksual lainnya, perkosaan, kehamilan remaja, aborsi, perselingkuhan, perceraian, hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, pelacuran dan homoseksual/ lesbian, dlsbnya.
b. Pornografi dan pornoaksi di media massa telah merembak dan menjadi masalah yang meresahkan masyarakat karena ditengarai dapat mempengaruhi perkembangan moral dan mengarah kepada pengabaian terhadap norma agama dan norma yang berlaku di masyarakat. Kondisi ini sangat menghawatirkan terhadap pertumbuhan generasi muda yang mengarah kepada pergaulan bebas, maraknya pesta-pesta seks dikalangan orang dewasa dan remaja.
c. Sebagai ilustrasi di Indonesia pornografi perlu mendapat perhatian serius antara lain:
1) Adanya dampak bagi generasi muda adanya perilaku seks bebas usia dini, pelecehan seksual, penyimpangan dikaitkan dengan HIV/AIDS, prostitusi, dll (Yayasan AIDS Indonesia).
2) Peredaran VCD Porno dapat merusak masyarakat dan menjadi stimulan psikologis destruktif (BID, DIY, September 2002).
3) Data Polda DIY 2000 tentang pornografi : 1 kasus dengan 20 barang bukti, tahun 2001 meningkat menjadi 12 kasus dengan 523 barang bukti, tahun 2002 24 kasus dengan 2-4 barang bukti.
4) Penelitian baru-baru ini di Yogyakarta, Agustus 2002, dari 2000 responden mahasiswi hanya 0,18 % yang belum pernah melakukan kegiatan seksual termasuk masturbasi, sedangkan 97,05 % telah melakukan “intercourse” pranikah. 5,9 % prnah melakukan aborsi. (Penelitian Lembaga Studi Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora).
Yang pernah dilakukan:
a. Menggerakakan masyarakat untuk membendung pornografi
b. Advokasi kepada media massa melalui pertemuan-pertemuan.
c. Penyiapkan RUU Anti Pornografi
d. Melakukan pemantauan pada bentuk pornografi pada media cetak maupun elektronik (Media Watch)

6. Kesejahteraan dan Perlindungan Anak
Negara Republik Indonesia telah meratifikasi The Convention on The Rights of the Child (CRC) atau Konvensi Hak-Hak Anak (KHA), sejak tahun 1990 melalui Kepres No. 36/1990. Dengan telah diratifikasinya CRC maka Indonesia mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hak-hak anak yang telah disepakati dalam KHA adalah:
a. Hak sipil dan kebebasan;
b. Hak mendapatkan lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif;
c. Hak memperoleh pelayanan kesehatan
d. Hak memperoleh pendidikan;
e. Hak mendapatkan perlindungan khusus;
Melalui Kepres 101/2001, Kementerian Pemberdayaan Perempuan mendapat mandat bahwa kesejahteraan dan perlindungan anak berada dibawah koordinasi KPP. Untuk mengimplementasikan hak-hak anak tersebut, pemerintah/Negara RI telah memiliki Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang ini didasari oleh 4 prinsip utama KHA, yaitu:
a. Non diskriminasi
b. Kepentingan terbaik bagi anak
c. Hak untuk hidup dan berkembang
d. Berpartisipasi
Definisi Anak dan Perlindungan Anak menurut UU No. 23 tahun 2002: Anak, adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan;Perlindungan anak, adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Kondisi dan situasi anak:
- Jumlah anak 82,3 juta, 41% dari jumlah total penduduk;
- Akte kelahiran baru mencapai 26,9% di desa, 40,2% di kota;
- Gizi buruk balita 8,3% (2,3 juta);
- Rata-rata lama sekolah anak laki-laki 6,7 tahun, anak perempuan 4,9 tahun;
- Makin tinggi jenjang pendidikan makin rendah partisipasi, terutama anak perempuan;
- HIV/AIDS 15 kasus bayi, 147 anak lain;
- Persentase pekerja anak usia (10-14) tahun dengan 16,89%; jam kerja normal (35 jam/minggu)
- Anak yang dieksploitasi untuk seksual komersial diperkirakan 30% dari total prostitusi, diperkirakan korban trafiking yaitu sekitar 40 – 70 ribu anak;
- Secara nasional diperkirakan sebanyak 60 – 75 ribu anak jalanan, 60% dari jumlah tersebut putus sekolah;
Upaya-upaya perlindungan oleh Pemerintah dalam bentuk produk hukum diantaranya:
a. UU No.20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 138/1973 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja;
b. UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
c. Keputusan Presiden No.87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak;
d. Keputusan Presiden No.88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak;
e. Keputusan Presiden No.77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Selain produk-produk hukum tersebut Pemerintah telah memiliki suatu Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015. Program ini merupakan acuan bagi Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah, serta Masyarakat, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat dan Dunia Usaha sehingga tercapai sinergi dalam pelaksanaan program pembangunan yang berkaitan dengan perlindungtan dan penanganan masalah-masalah anak.
Visi:
Anak Indonesia yang sehat, tumbuh dan berkembang, cerdas-ceria, berahlak mulia, terlindungi, dan aktif berpartisipasi.
Misi:
a. Menyediakan pelayanan kesehatan yang komprehensif, merata, dan berkualitas, pemenuhan gizi seimbang dan perilaku hidup sehat.
b. Menyedikan pelayanan pendidikan yang merata, bermitu,dan demokratis bagi semua anak sejak usia dini.
c. Membangun sistem pelayanan social dasar dan hokum yang responsive terhadap kebutuhan anak agar dapat melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.
d. Membangun lingkungan yang konduktif untuk menghargai pendapat anak dan memberikan kesempatan untuk berparatisipasi sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak.


Program komponen PNBI mencakup:
1. Kesehatan Anak
2. Pendidikan Anak
3. Penamggulangan HIV/AIDS
4. Perlindungan Anak
Tujuan umum perlindungan bagi anak adalah untuk menjamin pemenuhan hak-hak kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi anak.
Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai adalah :
a. Menjamin perlindungan khusus bagi anak dari berbagai tindak perlakuan tidak patut, termasuk tindak kekerasan, penelantaran, dan eksploitasi;
b. Menjamin perlindungan hukum baik dalam bentuk pembelaan dan pendampingan bagi anak yang berhadapan dengan hokum agar hak-haknya tetap terpenuhi, dan terlindungi dari tindakan diskriminatif;
c. Mengakui dan menjamin hak anak dari komunitas minoritas untuk menikmati budaya, menggunakan bahasa, dan melaksanakan ajaran agamanya







B. Kedudukan Perempuan
Menjadi laki-laki atau perempuan adalah takdir yang tidak bisa dibantah dan diingkari oleh seseorang. Jenis kelamin adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir. Oleh karena itu, hal ini bersifat alami, kodrati dan tidak bisa berubah. Sedangkan penilaian terhadap kenyataan sebagai laki-laki atau perempuan oleh masyarakat dengan sosial dan budayanya dinamakan dengan gender ( Ilyas, Yunahar; 12-13 ).
Konstruk sosial dan budaya yang menempatkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan telah melahirkan paham feminisme. Feminisme adalah suatu filsafat luas yang memperhatikan tempat dan kodrat perempuan dalam masyarakat (Smith, Linda dan William Rapper; 228).
Telah banyak lahir teori-teori yang membahas tentang perbedaan laki-laki dan perempuan, antara lain:
a. Teori Psikoanalisa
Menurut teori ini unsure biologislah yang menjadi faktor dominant dalam menentukan pola prilaku seseorang.
b. Teori Fungsional Struktural
Pembagian peran laki-laki dan perempuan tidak didasari oleh distrupsi dan kompetisi, tetapi lebih kepada melestarikan harmoni dan stabilitas di dalam masyrakat. Laki-laki dan perempuan menjalankan perannya masing-masing.

c. Teori Konflik
Perbedaan dan ketimpangan gender disebabkan dari penindasan dari kelas yang berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga. Terjadinya subordinasi perempuan akibat pertumbuhan hak milik pribadi.
d. Teori Sosio-Biologis
Faktor biologis dan sosial menyebabkan laki-laki lebih unggul dari perempuan. Fungsi reproduksi perempuan dianggap sebagai faktor penghambat untuk mengimbangi kekuatan dan peran laki-laki (Ilyas, Yunahar; 14-15).
Para feminis yang mempunyai kesadaran dan tampil di garda depan dalam perjuangan hak-hak perempuan terpecah dalam beberapa aliran karena perbedaan dalam memandang sebab-sebab terjadinya keadilan terhadap perempuan , bentuk perjuangan dan tujuan yang ingin dicapai.
Secara garis besar, ada 4 mainstream aliran feminisme:
a. Feminisme Liberal
Mereka mengusahakan perubahan kedudukan perempuan dalam masyarakat dengan mengubah hokum. Mereka percaya bahwa perempuan telah ditindas oleh hokum yang dibuat oleh laki-laki. Dengan mengubah hokum (misalnya, dengan mengizinkan perempuan memilih, mempertahankan milik mereka sendiri setelah perkawinan, untuk cerai), tempat perempuan di masyarakat harus berubah seterusnya ( Smith, Linda dan William Rapper; 229).

b. Feminisme Radikal
Mereka percaya bahwa pengertian paling mendalam mengenai keadaan perempuan telah dibentuk dan diselewengkan oleh laki-laki. Dengan mengubah hokum, kaum feminisme Radikal percaya tidak akan mengubah prasangka-prasangka mendalam yang dimiliki oleh kaum laki-laki terhadap perempuan. Kaum feminisme radikal ingin menemukan suatu pemahaman baru mengenai apa artinya menjadi perempuan, dan suatu cara yang sama sekali baru untuk hidup bagi perempuan di dalam dunia kita ( Smith, Linda dan William Rapper; 229).
c. Feminisme Marxis
Feminisme Marxis berpendapat bahwa ketertinggalan yang dialami perempuan bukan disebabkan oleh tindakan individu secara sengaja tetapi akibat struktur sosial, politik dan ekonomi yang erat kaitannya dengan system kapitalisme. Menurut mereka, tidak mungkin perempuan dapat memperoleh kesempatan yang sama seperti laki-laki jika mereka masih tetap hidup dalam masyarakat yang berkelas ( Ilyas, Yunahar; 18 ).
d. Feminisme Sosialis
Menurut mereka hidup dalam masyarakat yang kapitalistik bukan satu-satunya penyebab utama keterbelakangan perempuan. Menurut mereka, penindasan perempuan ada di kelas manapun. Gerakan feminisme Sosialis lebih menfokuskan kepada penyadaran akan posisi mereka yang tertindas. Timbulnya kesadaran ini akan membuat kaum perempuan bangkit emosinya, dan secara kelomok diharapkan untuk mengadakan konflik langsung dengan kelompok dominant ( laki-laki), sehingga diharapkan dapat meruntuhkan sistem patriakhi (Ilyas, Yunahar; 21).
Sementara itu di wilayah lainnya ada suatu konsep masyarakat yang menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan melalui sistem adat yang unik, yaitu sistem matrilineal di Minangkabau. Dalam menentukan garis keturunan kesukuan, masyarakat Minangkabau masih mengikuti garis ibu, yang meminang pihak perempuan, sistem matrilokal, pemimpin rumah tangga adalah ibu bersama-sama dengan saudara laki-lakinya (mamak), dan dalam pembagian harta warisan jatuh kepada kaum perempuan sementara kaum laki-laki tidak mendapatkan apa-apa (Ilyas, Yunahar; 49).













BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Didalam penyusunan makalah ini, dapat disimpulkan bahwa:

a. Kesetaraan gender adalah sebuah keniscayaan demokrasi, dimana kedudukan laki-laki dan kaum perempuan memiliki hak yang sama didepan hukum, karena laki-laki dan kaum perempuan memiliki kodrat yang sama sebagai makhluk sosial.

b. Ketidakadilan gender juga terjelma dalam bentuk pemberian beban kerja yang berat kepada kaum perempuan. Ketimpangan gender dalam kehidupan keluarga lebih banyak dirasakan kaum perempuan dari pada kaum laki-laki.

c. Visi dari Pemberdayaan Perempuan adalah mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara.

d. Lahirnya teori-teori yang membahas tentang perbedaan laki-laki dan perempuan, antara lain:
- Teori Psikoanalisa
- Teori Fungsional Struktural
- Teori Konflik
- Teori Sosio-Biologis





B. SARAN
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun hendaknya menguasai materi yang akan di tampilkan dalam makalah dengan mengumpulkan referensi sebanyak-banyaknya sehingga dapat membandingkan berbagai konsep dari beberapa sumber. Wassalam














DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, Yunahar. 2006. Kesetaraan Gender dalam Alquran: Studi Pemikiran Para Mufasir. Yogyakarta; Labda Press.
Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminist Thougt. Terjemahan Aquarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta; Penerbit Jalasutra.
Aryani, Aini. 2007. Islam Berideologi Patriarki. Pakistan:Dept. Media & Informasi PPMI (Persatuan Pelajar & Mahasiswa Indonesia)

0 komentar: